Dikejar-Kejar Hantu, karena Belum Melaksanakan Nadzar
Rabu, 22 Mei 2013 / 12 Rajab 1434 H
Jangan melarikan diri dari nadzar, saat kesempatan untuk
melaksanakannya telah terbuka. Karena nadzar itu hutang. Sekali hutang,
tetaplah hutang sebelum terbayar. Sampai kapanpun. Begitulah intisari
kesaksian Dasiman (seorang pegawai negeri sipil) kali ini. Dua bulan
lamanya, ia menerima konsekuensi dari nadzar yang belum dilaksanakannya
sejak dua puluh tahun yang lalu. Berikut petikannya.
Jawa Tengah, Agustus 1986
Tahun 1986, aku baru lulus STM. Usiaku baru dua puluhan tahun.
Mungkin terbilang telat bagi anak-anak zaman sekarang, lulus sekolah
menengah pada usia sepertiku. Tapi bagiku dan teman-teman, itu sudah
lumrah. Bukan hal Yang aneh.
Saat itu, untuk mencari
pekerjaan di kampung halamanku tidaklah semudah sekarang. Tidak banyak
lapangan kerja yang terbuka bagi pencari kerja di Solo, Jawa Tengah. Mau
menggeluti pertanian seperti orangtua, dalam benakku saat itu juga
bukan sebuah pilihan awal.
ljazah SMA sudah dalam genggaman.
Aku ingin mencari suasana baru. Dunia kerja yang berbeda dengan yang
kujalani selama ini, sebagai anak seorang petani. Masalahnya, lapangan
kerja yang tersedia tidak memberikan, ruang yang cukup bagiku dan
teman-teman.
Aku yang terbiasa pergi pagi pulang siang,
menjadi jenuh di rumah seharian. Aku rindu kembali dengan suasana
pegunungan. Selama sekolah, aku memang ikut bergabung dengan perguruan
beladiri. Setidaknya sabuk hijau sudah dalam genggaman.
Sesekali aku dan teman-teman juga melakukan latihan fisik dengan cara
yang berbeda. Ya, dengan mendaki gunung misalnya. Gunung Lawu bukan lagi
asing bagiku. Puncak Argodalem beberapa kali sudah kudaki. Gua Nyi Roro
Kidul juga pernah kudatangi.
Aku larut dalam kenangan indah
di puncak Argodalem. Beratapkan langit, berdinding hamparan pohon pinus.
Gelegak darah mudaku kembali menggelora. Hasrat dan keinginan untuk
mendaki gunung muncul kembali.
Ah, mengapa tidak ke
pertapaan Pringgondani saja, pikirku. Bukankah, tempat itu diyakini
sebagai tempat keramat? Banyak orang datang ke sana dengan berbagai
alasan. Konon, berdoa di pertapaan Pringgondani itu mudah terkabul.
Aku menerawang, jauh ke depan. Membayangkan puluhan tahun ke depan.
Masa-masa indah yang kuimpikan. Aku tidak memungkiri bila dalam hati
terbesit keinginan yang kuat untuk menjadi pegawai negeri. Entah,
mengapa keinginan itu begitu kuat. Rasanya, senang berseragam rapi dan
tiap hari ke kantor. Tidak lagi berkubang dengan tanah dan lumpur.
“Allahu Akbar, Allahu Akbar,”
adzan Dzuhur yang berkumandang dari mushalla menyadarkanku dari
lamunan. Aku pun bergegas mengambil air wudhu, membiarkan lamunan pergi
sesuka hatinya. Hatiku sudah mantap. Esok aku akan mendaki gunung Lawu
kembali. Kali ini tidak sampai jauh menembus ke puncak. Cukup di kaki
gunung saja. Tepatnya di pertapaan Pringgondani.
Berbekal
dengan sedikit makanan untuk satu dua hari, aku idzin kepada orangtuaku.
Seperti biasanya, bapak dan ibu tidak mencegahku mendaki gunung. Mereka
hanya berpesan, agar aku lebih berhati-hati.
Aku mendaki
dari Grojogan Sewu, menyusuri jalanan setapak yang membawaku ke
pertapaan. Sunyi, hening. Hanya kicauan burung dan binatang hutan yang
menemani perjalananku. Tiga jam lamanya, kususuri jalanan yang sesekali
berlumpur itu.
Menyibak perdu yang kadang menghalangi
jalan. Kubiarkan duri-duri kecil menyapa lengan, meninggalkan goresan
merah di kulit. Hingga akhirnya aku sampai di pertapaan Pringgondani.
Sebuah hamparan tanah lapang. Di sana, berdiri kokoh bangunan
pendopo tua. Dikelilingi jajaran pohon pinus. Aku melemaskan otot dengan
bersimpuh di atas tanah. Ternyata aku tidak sendirian di tempat itu.
Ada sepuluhan orang lain yang juga menjejaki pertapaan Pringgondani.
Siang itu, aku hanya berdiam diri di pendopo seluas tiga kali empat
meter itu. Aku berbagi tempat dengan para pendaki lainnya.
Malam harinya aku menginap di sana. Karena aku masih ingin menikmati
suasana pegunungan yang damai. Jauh dari suasana kebisingan. Meski ada
sepuluhan orang di sana, tapi masing-masing tahu diri. Tidak ada yang
mengganggu ketenangan. Ada yang duduk bersila dengan tasbih di tangan.
Ada juga yang mengelilingi api unggun.
Aku memilih tetap
berada di dalam pendopo. Aku ingat bahwa tempat ini memang diyakini
sebagai tempat yang mustajab. Artinya, kebanyakan orang yang datang ke
sini, rata-rata mencari keberkahan dari pertapaan Pringgondani ini.
Saat itu, aku masih sependapat dengan pandangan masyarakat secara
umum. Karena itulah, aku memanfaatkan waktu-waktu malam untuk berdoa
kepada Allah. Aku memohon, agar dimudahkan mendapat pekerjaan. Secara
khusus aku memang berharap ingin menjadi pegawai negeri. “Ya Allah, kalau nanti aku menjadi pegawai negeri, aku akan potong kambing.”
Aku memperkuat doa di malam itu dengan, bernadzar. Aku akan
menyembelih kambing, sebagai tanda sukur bila keinginanku itu terkabul.
Merantau ke Jakarta
Sepulang dari pertapaan Pringgondani, aku merantau ke Jakarta
berbekal Ijazah SMA dan keyakinan di dada. Aku yakin peluang kerja di
Jakarta lebih luas daripada di daerah. Walau tidak mudah, tapi aku yakin
peluang itu masih ada. Mungkin ada yang berpendapat, aku nekat. Karena
hanya bermodalkan keyakinan pada keagungan Allah.
Hari-hari
pertama, aku memang sempat kebingungan, kemana harus melangkah. Tapi aku
tidak mau menyerah. Aku bertanya kepada orang-orang yang kutemui,
apakah ada yang membutuhkan tenaga. Berkali-kali aku ditolak, tapi tidak
membuat nyaliku menciut. Aku tetap yakin bahwa Allah akan menolong
hamba-Nya yang sedang dalam kesulitan.
Bagiku saat itu kerja
apa saja, tidak masalah. Yang penting halal. Puluhan orang yang sudah
kutanya, rata-rata jawaban mereka sama. “Tidak ada lowongan keria, dik.” Hingga aku sampai di sebuah rumah yang lumayan bagus. Aku berharap pemilik rumah itu sedang membutuhkan tenaga kerja.
Allah mengabulkan permintaanku. Aku dipertemukan dengan keluarga seorang pejabat tinggi pemerintahan. Pak Surya
namanya. Kebetulan ia sedang menjalani dinas pendidikan. Aku diminta
untuk menjaga rumahnya. Dua bulan lamanya, kujalani profesi penjaga
rumah yang tak ubahnya seperti seorang satpam.
Posturku
yang mendukung serta bekal pengalaman sabuk hijau di salah satu
perguruan beladiri membuat Pak Surya senang dengan dedikasiku. Ia pun
menawariku mengikuti seleksi pegawai negeri. Dan aku pun diterima.
Dalam hitungan bulan, cita-cita untuk menjadi pegawai negeri itu
pun terkabul. Saat itu, aku masih ingat nadzar yang kuucapkan saat di
pertapaan Pringgondani. Aku ingat bahwa aku telah berjanji untuk
menyembelih kambing.
Hanya saja, nadzar itu belum bisa aku
tunaikan, karena keterbatasan dana yang kumiliki. Meminta dana ke
orangtua juga tidak mungkin. Alhasil, aku berpikir, ah nanti saja potong
kambingnya, kalau uang sudah terkumpul.
Menunda-nunda Pelaksanaan Nadzar
Waktu terus merambat. Aku lupa akan janji di pertapaan
Pringgondani. Masalah nadzar kambing sudah, hilang dari ingatanku.
Terdepak oleh rutinitas kerja yang menyita waktu dan perhatian. Dari
yang semula membujang, hingga menikah pada tahun 1992, nadzar itu tetap
belum aku laksanakan. Sesekali memang terlintas dalam benakku, bahwa aku
pernah bernadzar tapi ingatan itu kemudian kutepis sendiri, ‘ah nanti sajalah kalau sudah pensiun’.
Selama bertahun-tahun aku hidup dengan tenang bersama istriku
sebelum akhirnya pindah ke rumah kontrakan di Jakarta Timur. Rumah yang
kutempati itu, kata tetangga, memang angker. Letaknya saja berdampingan
dengan kuburan Cina.
Merinding juga mendengarkan cerita
mereka. Tapi Pilihanku saat itu tetap mengontrak di sana. Selain ongkos
sewanya yang agak miring, kontrakan itu juga lebih dekat dengan tempat
keria. Aku sadar bahwa pilihan ini memang mengandung resiko.
Bila kemudian, aku mengalami peristiwa yang berbau mistis, maka itu
adalah konsekuensi yang kusadari sejak awal. Nyaris tiap malam, selama
dua tahun, selalu ada gangguan. Seringkali aku melihat penampakan sosok
tinggi berkulit hitam. Makhluk itu ingin menguasaiku, tapi selalu
berhasil kukalahkan.
Suatu saat, ada penampakan yang
menyerupai istriku. Dalam pandanganku makhluk itu persis seperti
dirinya. Wajahnya, bentuk rambutnya tidak berbeda. Pakaian yang
dikenakannya pun sama. Bagai pinang dibelah dua.
Keduanya di
pinggir ranjang. Bedanya, satu dari kedua wanita itu menyusui anakku.
ltu yang membuatku yakin bahwa yang hanya memandangiku dan anakku secara
bergantian itu hanyalah penampakan dari jin.
Kuusap mataku
berulang-ulang. Tapi kedua wanita itu tetap di tempatnya. Awalnya, aku
khawatir bila itu hanya halusinasi semata. Kucubit lenganku, ternyata
aku tidak juga bermimpi. lni nyata. Aku yakin satu di antara mereka ada
yang penjelmaan jin.
Karena itulah kudekati pelan-pelan
wanita yang tidak menyusui anakku. Dan, … bag-bug, bag-bug … kulayangkan
tangan menghantam wanita itu. “Mas, Mas, ada apa Mas …” teriak wanita yang menyusui anakku.
Ia terkejut melihat apa yang kulakukan, karena ia memang tidak
melihat wanita selain dirinya. Aku hanya memukul tempat kosong, tapi
dalam benakku aku memukul penjelmaan jin yang langsung menghilang.
“Mas, ada apa Mas?” Tanya istriku lagi. Sedari tadi aku belum menjawab pertanyaannya. “Ada yang menyerupai adik,” jawabku. “Kupukul saja biar dia tidak berani mengganggu lagi.”
Kuceritakan apa yang baru saja kulihat serta penampakan-penampakan
lainnya di dalam rumah ini. lstriku hanya mengangguk pelan. la percaya,
bila ada yang menyerupai dirinya. Sebab pengalaman di rumah kontrakan
itu telah menyadarkan kami bahwa dunia jin memang nyata. Mereka juga
sering menampakkan diri dalam bentuk yang bermacam-macam.
Meski demikian, aku bersyukur. Kedua anakku tidak mengalami kejadian
yang aneh. Selama ini mereka hidup tenang, seperti anak-anak tetangga.
Selain dari gangguan di rumah kontrakan itu, selama ini aku tidak
merasakan adanya keanehan lain.
Di kantor atau dimanapun
aku bertugas. Lantaran itu aku mengambil kesimpulan bahwa rumah
kontrakan itu yang angker. Bukan diriku. Logikanya, siapapun yang
menempati rumah itu kemungkinan besar akan melihat berbagai penampakan
jin.
Ditagih Jin Pertapaan Pringgondani
Tahun 2005, aku ditugaskan ke Bekasi. Kuajak istri serta kedua
anakku. Disanalah, kemudian aku membangun rumah. Usiaku sudah semakin
senja, tidak bijaksana bila bolak-balik pindah kontrakan. Setahun
setelah menempati rumah baru, ada orang pintar yang menawarkan jasa
untuk memagari rumah dari gangguan makhluk halus. Usianya sudah separuh
baya dengan gaya bicara yang menarik. Ia mengungkapkan
kelebihan-kelebihan ghaibnya.
Setelah berpikir sejenak
kupersilahkan orang pintar itu membuktikan ucapannya. Karena aku tidak
ingin pengalaman di rumah kontrakan dulu terulang di rumah sendiri. Tiga
paku emas dipasang di atas pintu, sementara apel jin dan beberapa
sesajen lain ditanam di halaman rumah.
Setelah pemagaran
rumah itu, aku merasakan ada yang berubah. Nuansanya tidak sesejuk dulu.
Perselisihan kecil dalam rumah tangga mulai muncul serta dagangan yang
biasa laris, mulai menyusut pelanggannya.
Empat hari
setelah Idul Fitri, aku sakit. Suhu badanku menembus 40 derajat celcius.
Waktu itu aku berpikir, karena kecapekan saja. Menjelang lebaran
kemarin, banyak tugas kantor yang harus diselesaiakan.
Waktu itu aku berobat ke dokter. Namun, kata dokter, tidak ada penyakit
berat yang menimpaku. Itu hanya panas biasa. Hatiku tenang mendengar
hasil diagnose dokter tersebut. Tapi ketika suhu badan itu tidak juga
turun meski telah berlangsung seminggu, aku mulai khawatir.
Siang malam, aku gelisah. Aku seperti orang yang kebingungan. Duduk
menetap tiga menit saja, sudah tidak betah. Pindah sini. Pindah sana.
Suhu badanku tetap dalam kisaran empat puluhan. Tiap hari aku harus
bolak-balik ganti baju yang basah oleh keringat.
Memasuki
hari kesepuluh, mulai terlihat kejanggalan. Aku tidak bisa tidur. Bila
hanya karena panas, mungkin hal serupa juga dialami orang lain. Aku
tidak kuasa memejamkan mata, karena setiap memejamkan mata, aku melihat
berpuluh-puluh binatang hendak menyerangku.
Saat terpejam
itu, aku melihat terowongan panjang. Terowongan itu jauh menembus ke
hutan. Tepatnya ke pertapaan Pringgondani. Lewat terowongan itulah
berpuluh-puluh binatang rebutan masuk ke dalam diriku.
Aku
terkesima. Spontan kuteriakkan takbir untuk menangkan diri. Kekuatannya
sungguh mencengangkan. Seketika binatang-binatang itu terhenti
menghilang, sebelum akhirnya aku terbangun dengan geragapan.
Aku teringat film Jumanji yang beberapa saat lalu diputar di salah satu
TV swasta. Visualisasinya tidak jauh berbeda dengan yang kualami.
Berpuluh-puluh binatang itu mendatangi rumahku. Ada gajah, harimau,
anjing, kera dan masih banyak lagi yang lainnya.
Hanya aku
yang melihat semua bintang itu. Istri dan anak-anakku tidak merasakan
kehadiran mereka. Dalam pandanganku, binatang-binatang itu tidak pergi.
Mereka masih berada di sekeliling rumahku. Ada yang di pohon cery di
halaman rumah, ada pula yang memilih runpun bambu di samping rumah,
sebagai tempat pengintaian.
Bila menemukan celah, mereka
akan masuk ke dalam diriku. Pintu terbuka sedikit saja, angin kencang
menerobos ke dalam. Selanjutnya angin itu merambat dari kaki dan
menjalar ke seluruh tubuh.
lni adalah pertanda kehadiran
makhluk tak diundang itu. Bila sudah demikian, aku biasa menjerit.
Terkadang sampai, bergulingan di tanah. Beberapa tetangga yang mendengar
keributan di dalam rumah itu pun berdatangan. Mereka meringkus dan
berusaha menyadarkanku. Anehnya begitu ada yang mendekat, tangan dan
kakiku langsung menghadang mereka tanpa dapat kukendalikan.
Sewaktu bergulingan di tanah itu, tiba-tiba saja aku teringat, dengan
nadzarku dulu di pertapaan Pringgondani. Sampai terucap di dalam hati. “Ya Allah, aku sanggup melaksanakan janjiku. Aku akan potong kambing ya Allah. Kumohon hentikan siksaan ini.”
Setelah mengucapkan kesanggupan itu di dalam hati, perlahan siksaan
mulai mereda. Aku mulai bisa menguasai diri. Tapi binatang-binatang itu
tidak pergi, Mereka tinggal di pohon ceri dan bambu untuk menunggu
pelaksanaan nadzar.
Keesokan harinya, ada angin kencang
menerpa rumahku. lstriku juga merasakan angin itu. Anginnya kencang
sekali. lstriku sampai tidak berani membuka pintu depan. Tapi anehnya,
tidak ada dedaunan yang rontok. Beberapa saat berikutnya, aku kembali
bergulingan di tanah.
Saat itu, kondisiku semakin parah.
Kata tetangga, aku sudah setengah mati. Aku terus bergulingan di lantai.
Katanya, ada beberapa orang yang mencoba menyadarkanku, tapi mereka
tidak berhasil. Akhirnya, ada yang menyarankan keluargaku untuk
membawaku ke Ghoib Ruqyah Syar’iyyah cabang Cikarang untuk menjalani
terapi ruqyah.
Aku pun dibawa ke cabang Cikarang dalam keadaan masih belum sadarkan diri. Di sana, aku diterapi Ustadz Arif.
Empat orang yang memegangku terpental. Aku bahkan memukul dan menendang
mereka. Katanya, bila punggungku menyentuh lantai, maka badanku
berputar seperti gasing.
Alhamdulillah, setelah
beberapa lama diruqyah ustadz Arif, badanku melemas. Kekuatan yang
merasuk ke dalam diriku, semakin mengendurkan cengkeramannya hingga aku
tersadar kembali. Perlahan, satu persatu jin yang masuk ke dalam diriku
itu keluar.
Aku bisa merasakannya. Seperti ada sesuatu yang
merambat di badan lalu keluar melalui nafas. Selanjutnya di mana saya
merasakan panas, disitulah dipegang Ustadz Arif sambil dibacakan ayat
al-Qur’an. Dan jin pun keluar lagi.
Sehari setelah ruqyah
itu, aku segera memenuhi nadzarku. Aku menyembelih dua ekor kambing.
Dagingnya dibagikan kepada warga sekitar. Uangnya memang tidak milikku
semua. Ada tiga ratusan ribu yang masih pinjam teman. Waktu itu aku
berpikir tak apalah nanti juga akan aku ganti.
Memang setelah
penyembelihan kambing itu badanku berangsur membaik. Tapi bukan berarti
sudah terbebas sama sekali. Justru setelah pemotongan kambing itu,
jin-jin yang telah dikeluarkan saat ruqyah berusaha masuk kembali.
Mereka menggunakan berbagai cara untuk menguasai diriku. Ketika
shalat misalnya, jin-jin itu selalu mengganggu konsentrasiku. Aku
dibuatnya sulit membaca. Dan bila melakukan kesalahan, maka badanku
langsung panas. Sesekali seperti ada kekuatan yang mendorong tubuhku
saat shalat. Tapi semua itu tidak membuatku surut ke belakang.
Aku semakin memperbanyak ibadah. Tiap malam, aku terus melaksanakan
shalat tahajud. Siang malam, aku juga selalu berdzikir. Semua itu
kulakukan untuk memperlemah gangguan yang menerpaku ini. Tidak mungkin
aku bergantung kepada orang lain untuk menyelesaikan masalahku.
Pertemuanku dengan Ustadz Arif misalnya, tidak bisa terjadi kapan
saja dan di mana saja. Karena itulah aku harus bisa membentengi diriku
sendiri. Tentunya, dengan semakin meningkatkan kualitas ibadah dan
membaca al-Qur’an.
Siang malam, saya selalu membaca doa,
sambil membawa tasbih. Sebelum tidur, selalu membaca do’a. Kalau tidak
begitu, saya diganggu. Badan kesemutan seperti digerumuti semut. Saya
bacakan astaghfirullahal ‘adhiim, jin itu keluar.
Suatu malam, aku merasakan kembali kehadiran binatang-binatang. Ada dua
anjing yang masuk ke kamar mandi. Seketika, aku teringat bahwa aku masih
punya hutang tiga ratus yang kupakai untuk membeli kambing.
Aku katakan, “Aku akan membayar tiga ratus ribu itu. Jangan tunggu di dalam rumah. Keluar sana.” Akhirnya dua ekor anjing itu pun kulihat keluar dari kamar mandi. la menunggu di pohon ceri.
Keesokan harinya, aku membayar hutang tiga ratus ribu kepada
temanku. Ia orang kaya. Tiga ratus ribu itu tidaklah seberapa. Karena
itu begitu aku ceritakan apa yang terjadi, uang tiga ratus ribu itu
diserahkan kembali kepadaku.
“Uangnya saya terima.
Mudah-mudahan Allah mengizinkan dan bapak tidak dapat gangguan lagi.
Bapak tidak punya hutang lagi sama saya,” katanya. Uang itu
kemudian diberikan kembali kepada anakku. Katanya uang itu sudah
diterimanya, mau diberikan kepada siapa saja terserah dia.
Setelah aku membayar hutangku, alhamdulillah
aku tidak lagi mendapat gangguan. Semoga dengan terbebasnya diriku dari
nadzar dan segala hal yang bersangkutan dengannya, gangguan yang telah
menderaku dua bulan ini hilang untuk selamanya. Aku kembali menapak
hidup ini dengan tenang.
RRIAds - Sabun Bidara Ruqyah (Order via Tokopedia / KLIK GAMBAR)
FB: Rumah Ruqyah Indonesia - Twitter @RumahRuqyahID
0 comments:
Post a Comment
Postingan antum akan tampil setelah diseleksi dan layak tampil. Jazakumullah Khairan Katsiran